Kamis, 13 Januari 2011

Syarat Syahadat

Laa ilaa ha illallah. Tiada dzat yang berhak untuk disembah melainkan Alloh. Inilah kunci memasuki surga. Ibarat sebuah kunci, ia punya gerigi. Bila gerigi tak ada, pintu mustahil kan terbuka. Gerigi itulah yang berwujid syarat-syarat Laa ilaa ha illallah. Syarat syahadat ada tujuh :
AL ILMU
Berarti memahami makna secara nafyi(peniadaan) dan itsbat(penetapan). Memahami runag lingkup nafyi, yang mencakup penolakan sluruh yang diibadahi selain Alloh. Dan ruang lingkup istbat yaitu penetapan seluruh bentuk uluhiyyah (peribadatan) hanya keada Alloh Subhanahu wa ta’ala.
AL YAQIN
Mengetahui dan memahami scara sempurna makna-makna syahadat tanpa sedikitpun ragu terhadap makna tersebut. Jadi keimanan tadi tidak mengandung sesuatu yang bertentangan dengannya di dalam hati.
AL IKHLASH
Seperti lafal labanun khalishun (susu murni). Ikhlas bersalah dari kata khalis. Yaitu belum tercemari oleh kekotoran pada keberdihan dan kemurniannya. Ikhlas berarti memurnikan hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Lawan dari ikhlas ini adalah kesyirikan.
ASH SHIDQU
Jujur. Segala yang ditampakkan tidak bertentangan dengan apa yang diyakini dan dipahami dalam hati. Yang ditamakkan dengan amal dan lisan senantiasa selaras dengan apa-apa yang ada di dalam batin. Artinya antara lahir dan batin, ilmu dan amal seiring dan sejalan. Maka tidak sekalipun mengamalkan sesuatu yang berlawanan dengan I’tikad dan keyakinannya.
AL MAHABBAH
Mencintai Alloh, Rasul-Nya, dan apa-apa yang disampaikan Rasul dari Alloh dan mencintai mukminin.
AL INQIYAD
Beramal dengan menyerah dan tunduk keada Alloh dan Rasul-Nya. Menjalankan apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang dan dibenci-Nya.
AL QABUL
Ketaatan, ketundukan, kepasrahan, dan kepatuhan hati terhadap segala hal yang datang dari Alloh dan Rasul-Nya. Dan ini dibuktikan melalui ketaatan dan ibadah serta meyakini bahwa tidak ada jalan lain yang bisa menunjuki kecuali syariat Islam.
disarikan dari : El-Fata edisi 01/III/2002

PENDAHULUAN MAKALAH PPK

MAKNA ASSYAHADATAIN


Pendahuluan
Kalimah syahadatain adalah kalimat yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Kita senantiasa menyebutnya setiap hari, misalnya ketika shalat dan azan. Kalimah syahadatain sering diucapkan oleh ummat Islam dalam pelbagai keadaan. Sememangnya kita menghafal kalimah syahadah dan dapat menyebutnya dengan fasih, namun demikian sejauh manakah berkesan kalimah syahadatain ini difahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari ummat Islam ?
Soalan tersebut perlu dijawab dengan realiti yang ada. Tingkah laku ummat Islam yang terpengaruh dengan jahiliyah atau cara hidup Barat yang memberi gambaran bahawa syahadah tidak memberi kesan lainnya seperti tidak menutup aurat, melakukan perkara-perkara larangan dan yang meninggalkan perintah- Nya, memberi kesetiaan dan taat bukan kepada Islam, dan mengingkari rezki atau tidak menerima sesuatu yang dikenakan kepada dirinya. Contoh ini adalah wujud dari seseorang yang tidak memahami syahadah yang dibacanya dan tidak mengerti makna yang sebenarnya dibawa oleh syahadah tersebut.
Kalimah Syahadah merupakan asas utama dan landasan penting bagi rukun Islam. Tanpa syahadah maka rukun Islam lainnya akan runtuh begitupun dengan rukun Iman. Tegaknya syahadah dalam kehidupan seorang individu maka akan menegakkan ibadah dan dien dalam hidup kita. Dengan syahadah maka wujud sikap ruhaniah yang akan memberikan motivasi kepada tingkah laku jasmaniah dan akal fikiran serta memotivasi kita untuk melaksanakan rukun Islam lainnya.
Menegakkan Islam maka mesti menegakkan rukun Islam terlebih dahulu, dan untuk tegaknya rukun Islam maka mesti tegak syahadah terlebih dahulu. Rasulullah SAW mengisyaratkan bahawa, Islam itu bagaikan sebuah bangunan. Untuk berdirinya bangunan Islam itu harus ditopang oleh 5 (lima) tiang pokok iaitu syahadatain, shalat, saum, zakat dan haji ke baitul haram. Dalam hadits yang lain : Shalat sebagai salah satu rukun Islam merupakan tiangnya ad dien.
Di kalangan masyarakat Arab di zaman Nabi SAW, mereka memahami betul makna dari syahadatain ini, terbukti dalam suatu peristiwa dimana Nabi SAW mengumpulkan ketua-ketua Quraisy dari kalangan Bani Hasyim, Nabi SAW bersabda : Wahai saudara-saudara, mahukah kalian aku beri satu kalimat, dimana de- ngan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab. Kemudian Abu Jahal terus menjawab : Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku. Kemudian Nabi SAW bersabda : Ucapkanlah Laa ilaha illa Allah dan Muhammadan Rasulullah. Abu Jahal pun terus menjawab : Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.
Penolakan Abu Jahal kepada kalimah ini, bukan kerana dia tidak faham akan makna dari kalimat itu, tetapi justru sebaliknya. Dia tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat dan patuh kepada Allah SWT sahaja, dengan sikap ini maka semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya. Abu Jahal ingin mendapatkan loyaliti dari kaum dan bangsanya. Penerimaan syahadah bermakna menerima semua aturan dan segala akibatnya. Penerimaan inilah yang sulit bagi kaum jahiliyah mengaplikasikan syahadah.
Sebenarnya apabila mereka memahami bahawa loyaliti kepada Allah itu juga akan menambah kekuatan kepada diri kita. Mereka yang beriman semakin dihormati dan semakin dihargai. Mereka yang memiliki kemampuan dan ilmu akan mendapatkan kedudukan yang sama apabila ia sebagai muslim. Abu Jahal adalah tokoh di kalangan Jahiliyah dan ia memiliki banyak potensi diantaranya ialah ahli hukum (Abu Amr). Setiap individu yang bersyahadah, maka ia menjadi khalifatullah fil Ardhi.
Kalimah syahadah mesti difahami dengan benar, kerana di dalamnya terdapat makna yang sangat tinggi. Dengan syahadah maka kehidupan kita akan dijamin bahagia di dunia ataupun di akhirat. Syahadah seba- gai kunci kehidupan dan tiang dari pada dien. Oleh itu, marilah kita bersama memahami syahadatain ini. http://www.scribd.com/doc/22054919/01-syahadat

PENGERTIAN SYAHADATAIN

Syahadat berasal dari bahasa arab, secara etimologi (bahasa) mengandung makna Persaksian; perjanjian. Adapun pengertian secara terminology (istilah): “Persaksian atau perjanjian seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya”. Perjanjian manusia dengan Allah dimulai semenjak manusia ada di alam arwah Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi”. agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini “, Q.S. al-A’raf [7]: 172.
Dalam pendekatan Ilmu Akidah Islam, dikenal dengan Syahadatain (dua syahadat). Artinya bahwa syahadat itu, hanya disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Syahadat yang pertama perjanjian yang bersifat Uluhiyyah, karena menggunakan lafadz Ilaha, dari manusia kepada Allah; dan syahadat yang kedua bersifat Kerasulan; karena menggunakan lafadz Rasulullah dari umat kepada utusan Allah.
Dari pengertian syahadat yang kedua yang bersifat kerasulan, umat bersaksi tentang fungsi rasul atau utusan bagi dirinya. Maka akan terjalin ikatan yang kuat antara umat dengan Rasulullah Saw yang melahirkan bimbingan dan kepemimpinan. Demikian penting syahadat yang kedua ini sehingga disejajarkan dengan syahadat yang pertama. (Hubungan Syahadat dengan Bai’at
February 11, 2010 by Ibnu Fatih ) http://ibnufatih.wordpress.com/2010/02/11/hubungan-syahadat-dengan-baiat/)

PENTINGNYA SYAHADAT

Posted on Oktober 17, 2007 by abu mujahid
Pentingnya Syahadatain

Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah…..(QS47:19) 
Jumlah umat Islam kini sangat banyak. Sebagian besar mereka terkategorikan sebagai Islam keturunan atau kebetulan terlahir sebagai muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang banyak tidak berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil dan utuh. Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat penting dan mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat syahadah, kita dapat terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan kemusyrikan.
Syahadatain merupakan fondasi atau asas dari bangunan keislamam seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka rumahnya pun tidak akan kuat bertahan.
Ayat di atas, menjelaskan bahwa umat Islam tidak dibenarkan hanya sekedar mengucapkan atau melafalkan dua kalimat syahadah, tetapi seharusnya betul-betul memahaminya. Kata fa’lam berarti “maka ketahuilah, ilmuilah….”  Artinya Allah memerintahkan untuk mengilmui atau memahami kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan sekedar mengucapkannya, tetapi dengan yang pada gilirannya akan membentuk keyakinan (i’tiqod) dalam hati.


Pentingnya Syahadatain


Kalimat syahadah sangat penting dipahami karena beberapa hal:

1.         Pintu gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)
Qs 2:108
Islam ibarat rumah atau bangunan atau sistem hidup yang menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk masuk secara kaaffah. Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang,  yaitu syahadatain. Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non muslim. Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman kalimat itu. Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan manusia ke pemahaman akan hakikat ketuhanan (rububiyyah) yang benar juga. Mengimani bahwa Allah-lah Robb semesta alam.


2.         Intisari doktrin Islam (Khulasoh ta’aliimil Islam)

Intisari ajaran Islam terdapat terdapat dalam dua kalimat syahadah. Asyhadu anlaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya tidak ada Ilaah selain Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah (Aku bersaksi: sesungguhnya Muhammad Rasul Allah).  Pertama, kalimat syahadatain merupakan pernyataan proklamasi kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu hanya milik dan untuk Allah semata (Laa ma’buda illallah), baik secara pribadi maupun kolektif (berjamaah). Kemerdekaan yang bermakna membebaskan dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita tidak  mengabdi kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah yang disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan istilah  Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa ilaaha illallah itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”. Rasulullah juga bersabda “Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah” (al-Hadist).  Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi dengan pemahaman yang benar ¾ bukan hanya melisankan ¾ adalah sebuah keutamaan yang dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang kuat, membuat hamba menyikapi semua perintah Allah dengan mudah. Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa berat di saat iman kita melemah. Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan menjadi bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup aman atau tentram dan mendapat petunjuk dari Allah. Sebagaimana Dia berfirman dalam al-Qur’an: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS 6:82).

Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam beribadah kepada Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara (kaifiyat) beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat…”. Selanjutnya hal ini berlaku untuk semua aspek ibadah di dalam Islam. 


3.    Dasar-dasar Perubahan (Asasul inqilaab)

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya (Islam); minazzuluumati ilannuur. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara keseluruhan, baik secara individu maupun masyarakat. Secara individu, berubah dari ahli maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh menjadi pandai; dari kufur menjadi beriman, dst. Secara masyarakat, di bidang ibadah, merubah penyembahan komunal berbagai berhala menjadi menyembah kepada Allah saja. Dalam bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi sistem Islam tanpa riba, dan begitu seterusnya di semua bidang. Syahadatain mampu merubah manusia, sebagaimana ia telah merubah masyarakat di masa Rasulullah dan para shahabat terdahulu. Diawali dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak manusia meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai Islam yang utuh.


4.    Hakikat Da’wah para Rasul (Haqiqotud Da’watir Rasul)

Para nabi, sejak Adam AS sampai Muhammad SAW, berda’wah dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin dan ajaran yang sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja  dan meninggalkan Thogut. Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thogut itu” (QS 16:36)

5.    Keutamaan yang Besar (Fadhooilul ‘Azhim)

Kalimat syahadatain, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjanjikan keutamaan yang besar. Keutamaan itu dapat berupa moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di akhirat; mendapatkan jaminan syurga serta dihindarkan dari panasnya neraka.

 

Makna Asyhadu

Kata asyahdu yang terdapat dalam syahadatain memiliki beberapa arti, antara lain: 
1.    Pernyataan / Ikrar (al-I’laan atau al-Iqroor)
Seorang yang bersyahadah berarti dia berikrar atau menyatakan ¾ bukan hanya mengucapkan ¾ kesaksian yang tumbuh dari dalam hati bahwa Tidak Ada Ilaah Selain Allah.
2.    Sumpah (al-Qossam)
Seseorang yang bersyahadah berarti juga bersumpah ¾ suatu kesediaan yang siap menerima akibat dan resiko apapun ¾ bahwa tiada Ilaah selain Allah saja dan Muhammad adalah utusan Allah.
 
3.    Janji (al-Wa’du atau al-‘Ahdu)
Yaitu janji setia akan keesaan Allah sebagai Zat yang dipertuhan. Janji tersebut kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah (QS ?).
Syahadah muslim yang dinyatakan dengan kesungguhan, yang merupakan janji suci,sekaligus sumpah  kepada Allah SWT; merupakan ruh keimanan. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan tanpa keberatan, kepercayaan terhadap semua keputusan Allah (QS 49:15).
 
Hakikat Iman 
Keimanan itu bukanlah angan-angan, tetapi mencakup 3 hal:
1.    Dikatakan dengan lisan (al-Qoul)
   Syahadah diucapkan dengan lisan dengan penuh keyakinan. Semua perkataan yang keluar dari lisan mu’min senantiasa baik dan mengandung hikmah.
 
2.    Dibenarkan dengan hati (at-tashdiiq)
Hati adalah lahan menyemai benih-benih keimanan. Semua yang keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa yang ada dalam hati akan dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam hadist Bukhori digambar oleh Nabi SAW bahwa: “Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat air hujan, ada jenis tanah yang subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak menumbuhkan hanya menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak menumbuhkan juga tidak menampung”.
Allah, dalam al-Qur’an, membagi hati manusia menjadi tiga, yaitu hati orang mu’min (QS 26: 89), hati orang kafir (QS 2: 7) dan hati orang munafiq (QS 2: 10). Hati orang kafir yang tertutup dan hati munafik yang berpenyakit takkan mampu membenarkan keimanan (at-tashdiiqu bil qolb). Sedangkan hati orang mu’min itulah yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai tanah yang subur yang dapat menumbuhkan pohon keimanan yang baik. Akar keyakinannya menjulang kuat ke tanah, serta buah nilai-nilai ihsannya dapat bermanfaat untuk manusia yang lain.
3.    Perbuatan (al-‘Amal)
`           Perbuatan (amal) digerakkan atau termotivasi dari hati yang ikhlas dan pembenaran iman dalam hati.  Seseorang yang hanya bisa mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak akan diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik, yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila diberi amanah ia berkhianat.
Perkataan, pembenaran di hati dan amal perbuatan adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat istiqomah, tetap, teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam QS 41:30, sikap istiqomah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan. Mu’min mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa: 
·         Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan kepada Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang meskipun akan mendapatkan siksaan. Lawan keberaniaan adalah sifat pengecut.
·         Ketenangan (al-Ithmi’naan),  yang lahir dari keyakinan bahwa Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir bathin.   Lawannya adalah sifat bersedih hati.
·         Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap perlindungan  Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang optimis akan tentram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan keridhoan Allah (mardhotillah).
 
Ketiga karunia Allah kepada orang mustaqim akan dilengkapi Allah dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah), baik di dunia dan akhirat.
Inilah pemahaman terhadap konsep syahadah. Tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena kita berharap agar Allah memberikan kesabaran dalam memahaminya.
Filed under: Akidah http://almanaar.wordpress.com/2007/10/17/pentingnya-syahadatain/

Selasa, 07 Desember 2010

SITUS

http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/2009/08/kebebasan-menurut-paham-syiah-dan.html
http://www.scribd.com/doc/40776883/Makalah-Syi-ah-dan-Ahlussunnah-waljamaah

MURJIAH

A. Definisi
Murjiáh merupakan satu aliran yang muncul di Damsyik, ibukota Kerajaan Umayyad, disebabakan oleh beberapa pengaruh Masehi pada pertengahan kedua dari abad pertama Hijriyah. Nama ini di ambil dari kata “Arja-a, Yurji-u, Irja-an” yang berarti mengundurkan.ini disebabakan karena mereka tidak mau memutuskan sesuatu perkara bahkan mengundurkan setiap hokum dan hukuman ke hari kemudian , maka seseorang tidak bersalah dan tetap berada di dalam keimanan yang utuh dan apapun yang dilakukannnya tidaklah mengganggu keududukannya sebagai seorang muslim yang penuh keimanan ia mungkin manusia yang bersalah dan berdosa, tetapi soal itu ialah antara dia dan Allah, namun manusia lain tidak perlu campur tangan dan menjatuhkan sesuatu sanksi hokum terhadap dirinya. Seolah-olah kebaikan dan kejahatan itu tidak mempengaruhi hidup, kehidupan, penghidupan dan masyarakat manusia. Dengan demkian tidaklah terdapat titik pisah antara sesuatu perintah dan larangan Allah. Di samping itu tidak ada pula ikatan baik dan jahat antara satu sama lain. Hidup yang demikian itu tidak ubahnya dari hidup benda yang tidak berjiwa dan berperasaan. [1]
Murjiáh merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabi’in.[2]
Pendapat lain mengatakan makna Murjiáh nisbat kepada irja` (إِرْجَاء) yang artinya mengakhirkan. Kelompok ini disebut dengan Murji`ah, dikarenakan dua hal:
1. Karena mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan.[3]
2. Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) adzab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan.[4]
B. Kapan munculnya dan pelopor utamanya
Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:
1. Ghailan Ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yang dibunuh pada tahun 105 H.[5]
2.Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi. [6]
3. Salim Al-Afthas.[7]
Murji`ah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad pertama Hijriyyah. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid, ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah, maka aku mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Maka tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan aqidah mereka (Murji`ah), dan disampaikan (kepada Abu Wa`il) di masa kemunculannya.
Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yang mengatakan pada tahun 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.”[8]
Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Sehingga jadilah mereka sebagai rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.” [9]

C. Sekte-sekte Murjiáh
Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murji`ah dan ada pula yang tidak. Adapun yang murni Murji`ah antara lain; Yunusiyyah (pengikut Yunus bin ‘Aun An-Numairi), ‘Ubaidiyyah (pengikut ‘Ubaid Al-Mukta`ib), Ghassaniyyah (pengikut Ghassan Al-Kufi), Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’), Tumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Tumani), dan Shalihiyyah (pengikut Shalih bin Umar Ash-Shalihi). Sedangkan yang tidak murni Murji`ah, antara lain; Murji`ah Fuqaha (Murji`ah dari kalangan -sebagian- ahli fiqih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman), Murji`ah Qadariyyah (Murji`ah dari kalangan kelompok anti taqdir, pengikut Ghailan Ad-Dimasyqi), Murji`ah Jabriyyah (Murji`ah yang juga beraqidah Jabriyyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyyah), Murji`ah Khawarij (Mereka adalah sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikitpun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar), Murji`ah Karramiyyah (Murji`ah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah1).[10]

D. Ciri-ciri Murjiáh
Murji`ah memiliki sekian banyak ciri, dan ada beberapa ciri yang paling menonjol, di antaranya sebagai berikut.
[1]. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
\
[2]. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.

[3]. Mereka mengharamkan istitsn` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah’) di dalam iman.

[4]. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.

[5]. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.

[6]. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.[11]
CIRI-CIRI MURJI’AH MENURUT AHLI BID’AH TERDAHULU.
Dahulu para ahli bid’ah –dari kalangan Khawarij dan selainnya- menuduh Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah dengan irja`, dikarenakan perkataan mereka (Ahlus-Sunnah) bahwa pelaku dosa besar tidak dikafirkan, kecuali jika dia menghalalkan perbuatan tersebut. Dan mereka berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya tidaklah kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama.[12]
Di antara dali-dalil yang menunjukkan hal itu ialah sebagai berikut.
Pertama. Atsar yang dikeluarkan Ishaq bin Rahawaih dari Syaibân bin Farrûkh, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul-Mubârak: ‘Apa pendapatmu tentang orang yang berzina dan meminum khamr atau selain itu. Apakah ia dikatakan mukmin?’. ‘Abdullah Ibnul Mubârak menjawab,‘Aku tidak mengeluarkannya dari iman,’ maka Syaibân berkata,‘Apakah pada saat tua nanti engkau menjadi Murji`ah?,’ lalu ‘Abdullah Ibnul-Mubârak menjawab,‘Wahai, Aba ‘Abdillah! Sesungguhnya Murji`ah tidak menerimaku, karena aku mengatakan iman itu bertambah, sedangkan Murji`ah tidak mengatakan demikian’.”[13]
Kedua. Apa yang disebutkan oleh al-Qâdhi Abul-Fadhl as-Saksaki al-Hanbali (wafat 683 H) dalam kitabnya, al-Burhân: Bahwa ada sekelompok ahlul bid’ah yang dinamakan dengan al-Mansuriyyah -mereka adalah sahabat dari ‘Abdullah bin Zaid-, mereka menuduh Ahlus-Sunnah sebagai Murji`ah, karena Ahlus-Sunnah mengatakan, orang yang meninggalkan shalat, apabila ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia tetap seorang muslim; demikian menurut pendapat yang shahîh dari madzhab Imam Ahmad.
Mereka (ahlu bid’ah) mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa iman menurut mereka (Ahlus Sunnah) adalah perkataan tanpa amal.”14
CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI’AH, MENURUT AHLUS-SUNNAH.
Para ulama Ahlus-Sunnah telah menyebutkan sejumlah ciri yang dapat diketahui bahwa seseorang terlepas dari bid’ah Irja`, di antaranya ialah:

[1]. Mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ibnul-Mubarak rahimahullah pernah ditanya: “Engkau berpendapat Irja`?,” maka ia menjawab,“Aku mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan. Bagaimana mungkin aku menjadi Murji`ah?!”
[2]. Mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad ditanya tentang orang yang mengatakan: “Iman itu bertambah dan berkurang,” maka ia menjawab,“Orang ini telah berlepas diri dari Irja`.”
[3]. Mengatakan bahwa maksiat mengurangi iman dan membahayakannya.
[4]. Mengatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perbuatan sebagaimana dapat terjadi dengan keyakinan dan perkataan. Dan ada di antara amal yang menjadi kufur karena melakukan amal tersebut tanpa keyakinan, dan menganggap halal perbuatan tersebut.
E. Iman Menurut Pendapat Murji`ah
Murji'ah adalah sebuah firqah yang memiliki pemahaman irja`. Maksud irja` ini memiliki dua makna.

Pertama. Mengakhirkan. Yaitu mereka mengakhirkan amal dari iman. Dalam arti, bahwa menurut mereka, amal tidak termasuk bagian dari iman. Pendapat ini merupakan kesesatan karena menyelisihi 'aqidah Ahlus-Sunnah.

Kedua. Memberikan raja' (harapan). Mereka mengatakan, dengan adanya iman maka maksiat tidak membahayakan. Sebagaimana juga ketaatan itu tidak bermanfaat dengan adanya kekufuran. Anggapan ini juga merupakan kesesatan, karena mereka memandang remeh terhadap nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitab dan as-Sunnah.

Para salafush-shalih telah menyatakan kesesatan firqah Murji`ah ini. Az-Zuhri rahimahullah berkata; ''Tidaklah muncul bid'ah di dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap pemeluk (agama Islam) dari irja`''.17

Ada beberapa firqah Murji`ah, namun secara umum terbagi dalam tiga golongan.

Pertama. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Sebagaimana Asy'ariyah menyatakan iman adalah keyakinan dan amalan hati. Begitu pula Jahmiyah menyatakan iman hanyalah keyakinan hati saja.
Kedua. Golongan yang mengatakan, iman hanyalah perkataan lisan saja. Mereka ini dikenal sebagai golongan Karamiyyah

Ketiga. Golongan yang mengatakan, iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka ini Murji`ah dari kalangan fuqahâ (para ahli fiqih).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan dalam Majmû' Fatâwa: Murji`ah itu ada tiga golongan
.

Pendapat Pertama, orang-orang yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Kemudian di antara mereka ini, ada yang memasukkan amal-amal hati di dalam iman. Mereka ini merupakan mayoritas golongan Murji`ah. Sebagaimana Abul-Hasan al-Asy'ari telah menyebutkan perkataan-perkataan mereka di dalam kitabnya. Banyak golongan yang beliau paparkan. Tetapi kami akan menyebutkan pokok-pokok pendapat mereka. Di antara mereka ada yang tidak memasukkan amal hati ke dalam iman, seperti Jahm dan pengikutnya, as-Shalihi. Inilah yang dia bela dan diikuti oleh mayoritas pengikutnya.

Pendapat Kedua, orang yang menyatakan bahwa iman adalah perkataan lisan saja. Pendapat ini tidak dikenal oleh seorang pun sebelum kemunculan firqah al-Karrâmiyyah.

Pendapat Ketiga, bahwasanya iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Inilah yang terkenal dari ahli fiqih dan ahli ibadah dari golongan Murji`ah.18

Tiga golongan ini sepakat menyatakan bahwa amal anggota badan tidak termasuk bagian iman. Pendapat ini tentu merupakan penyimpangan dan kesesatan, walaupun kadarnya berbeda-beda. Karena ijma' (kesepakatan) Salaf menetapkan bahwa amal anggota badan termasuk iman, bahkan hal ini ditunjukkan oleh Al-Kitab dan as-Sunnah

.
KESIMPULAN
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
  1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
  2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Fachrudin, Dr. Fuad Mohd. Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam. CV. Yasaguna.1990.
Nasution, Harun.Teologi Islam. Penerbit UI. 2008
'Abdul-Akhir Hammad al-Ghunaimi,Al-Minhah Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh ath-Thahâwiyah, Darush-Shahabah.1978.
Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah. Majmu’ Fatâwa, Dar El-Maárif.2001.
Asy-Syahrastani. Al-Milal Wan Nihal, Dar El-Maárif.2000.


[1] . Dr. Fuad Mohd. Fachrudin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam. CV. Yasaguna.1990
[2] . Majmu’ Fatawa, 7/118
[3] (Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113)
[4] (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Al-Imam Ibnul Atsir, 2/206)
[5] (Lihat Al-Milal Wan Nihal, karya Asy-Syahrastani hal. 139)
[6] (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)
[7] (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 179).
[8] (Fathul Bari 1/137)
[9] (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38
[10] (Untuk lebih rincinya, lihat Majmu’ Fatawa 7/543-550, Al-Milal Wan Nihal, hal. 140-145 dan Firaq
Mu’ashirah, 2/761)
[11] Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, karya Imam al-Lalikâ-i.
[12] . Syarah Aqîdah ath-Thahâwiyyah, karya Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi tahqiq para ulama dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[13] At-Takfîr wa Dhawâbithuhu, karya Syaikh Dr. Ibrâhim ar-Ruhaili.